Senin, 13 November 2017

NATAL ITU TELAH MENJADI AJANG TEBAR PESONA

NATAL ITU TELAH MENJADI AJANG TEBAR PESONA

Hari Natal memang menjadi bulan sangat religius bagi umat kristen, telah mulai berbagai gereja, instansi, atau pribadi – pribadi memperiapkan diri untuk menyambut Natal dan saya juga telah melihat simbol religious itu mulai dipersiapkan untuk dekorasi pada saatnya nanti tiba.

Tetapi ada kerisuan dalam hati saya pribadi, nantinya simbol religious itu sudah bukan menjadi simbol iman tapi telah menjadi sebagai symbol euforia. Lagu - lagu natal bukan lagi sebagai kidung syahdu untuk mengingat kesederhanaan palungan, tetapi sudah  berubah menjadi lagu untuk mengundang orang datang dan hanya sebagai hiburan.  

Akan ada banyak panitia natal yang akan mempersiapkan Snack atau makanan Natal, semoga hal  itu bukan sebagai lambang umat yang konsumerisme. Ketika kita bisa menjaga simbol religius itu di hati, maka kita memang tidak akan terjebak akan iman baru yaitu konsumerisme.

Natal bukanlah arena tukar kado dan dapat kado gaya santa claus yang tak jelas maunya kemana. Natal adalah menerima kado Tuhan yang terbesar yakni keselamatan telah hadir. Itu sebabnya Natal harus berfokus pada palungan yang artinya pengorbanan dan kesederhaan bukan kemewahan dan ajang tebar pesona dan semoga saja natal – natal yang kita lakukan bukanlah hanya sebagai tebar pesona.

Substansi awal untuk mengerti kesederhanaan 'palungan' adalah bahwa Tuhan melawat umatNya melalui pribadi yang altruist sejati seperti Jusuf dan Maria yang mempersembah dirinya dipakai untuk sebuah prakarsa agung 'Imannuel' sudah sangat jauh. Oleh itu saya kira keluarga dari Nazareth, tidak memerlukan simbol religious dalam arti fisik, tebar pesona, karena mereka sudah bertemu dengan substansi Juruslamat secara Agung itu sendiri.

Doa saya tahun ini sama seperti doa – doa tahun yang lalu ketika menyambut Natal, semoga Natal itu memang menjadi sebuah natal yang sesungguhnya. Selamat Menyambut Natal dalam arti yang sesungguhnya.

Pekanbaru Selasa 14 Des 2017


Kamis, 09 Februari 2017

LUGU BAK NASRUDIN



LUGU BAK NASRUDIN   
(Ini salah satu ilustrasi yang saya suka dan ilustrasinya sering saya pakai dalam khotbah - khotbah saya)

Nasrudin dikunjungi seorang teman yang membawa seekor bebek. Maka nasrudin pun memasak sop bebek dan menyantapnya berdua. Sekitar sejam setelah temannya pulang, datanglah seorang yang sama sekali tidak di kenal Nasrudin. Orang itu berkata, “Aku adalah teman dari teman yang membawa bebek tadi.” Memang masih ada sisa sop bebek itu, namun hanya sedikit sekali. Cepat - cepat Nasrudin menambah air lalu menyajikannya. Sejam kemudian datang lagi seorang yang tidak dikenal dan berkata, “Aku adalah teman dari teman dari teman yang membawa bebek.” Nasrudin bingung. Sisa kuah sop itu sudah tinggal sedikit sekali. Maka Nasrudin menambah lagi air lalu menyajikannya. Baru saja orang itu mencicipi ujung sendok, ia membentak, “Sop apa ini?” Dengan tenang Nasrudin menjawab, “Ini adalah sop bebek dari sop bebek dari sop bebek.”

Pada kesempatan lain Nasrudin sedang berjalan ke kota. Beberapa anak nakal ingin memperdaya dia dan mencuri sandalnya. Mereka berpura-pura meminta Nasrudin mengajar mereka memanjat pohon. Nasrudin pun melepaskan sandal, memasukkan sandalnya ke dalam saku, lalu mulai memanjat pohon. Anak-anak menjadi bengong dan berteriak, “Kenapa sandalnya dibawa?” Nasrudin menjawab, “Barangkali di puncak pohon ada jalan. Aku ingin belajar berjalan di situ.”

Pada suatu hari Nasrudin meminjam sebuah panci besar dari tetangga yang terkenal licik dan serakah. Ketika ia mengembalikan panci itu, dimasukkannya sebuah panci baru yang kecil. Ia berkata, “Pancimu ternyata hamil dan semalam melahirkan anak.” Tanpa mengucapkan apa-apa tetangga itu mengambil kedua panci itu. Seminggu kemudian Nasrudin meminjam lagi panci besar itu. Esok harinya ketika tetangga itu menagih, Nasrudin berkata, “Pancimu semalam telah meninggal dunia.” Tetangga itu marah, “Mustahil, mana ada panci meninggal dunia!” Nasrudin menjawab, “Ketika pancimu hamil dan melahirkan, kamu tidak bilang apa-apa; sekarang pancimu meninggal dunia kamu bilang mustahil.”

Siapa Nasrudin ? Konon ia adalah seorang sufi di Turki pada abad ke - 14. Ada ratusan anekdot tentang Nasrudin yang merupakan paduan humor dan satire (gaya sastra sindiran). Dalam bahasa Inggris saja, ada hampir seratus buku yang berisi koleksi dan analisis cerita Nasrudin.

Tiap anekdot Nasrudin menyimpan sebuah kebenaran. Kebenaran itu sering kali menusuk, namun dikemas sedemikian rupa sehingga pembaca tidak menjadi gusar, melainkan tertawa bahkan menertawakan diri sendiri.

Bagaimana dengan karakter Nasrudin ? Ia digambarkan sebagai seorang yang meyakini suatu keyakinan yang jelas. Cara meyakininya itu selalu bersifat lugu, artinya wajar dan apa adanya. Dengan demikian keyakinannya terungkap dengan sederhana, singkat-padat dan jelas.

Bukankah begitu sebetulnya hakikat sebuah kesaksian ? Kita bersaksi tentang apa yang telah dan tengah diperbuat Allah dalam Kristus. Kita bersaksi tentang sebuah kebenaran yang bernama Kristus. Kita bukan pemilik kebenaran itu. Kita hanyalah “anekdot” yang mengangkut atau mentransportasi kebenaran itu.
Supaya kebenaran itu tiba di alamat dengan jitu. “anekdot’-nya harus jitu pula. Nasrudin menjadi anekdot yang jitu karena sifatnya yang lugu, yaitu wajar dan apa adanya. Ia tidak dibuat-buat.

Ketika Tuhan Yesus menyapa persoalan tentang sumpah seorang saksi kebenaran, ia menegaskan bahwa yang penting bukanlah sumpahnya, melainkan kebenarannya. Ia berkata, “Jika ya, hendaklah kamu katakan : ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan : tidak …” (Mat. 5:37). Apa faedahnya ber sumpah demi ini atau demi itu, kalau kesaksiannya tidak benar. Yang perlu adalah bahwa kesaksian kita sungguh-sungguh benar. Kristus tidak merasa perlu di perindah, di perbesar dan di perhebat dalam kesaksian kita. Apa adanya saja. Wajar saja. Lugu saja. Justru kesaksian yang lugu bisa menjadi kesaksian yang ampuh.

Keluguan itu pula yang membuat pesan kebenaran Nasrudin menjadi ampuh. Coba simak anekdot ini. Nasrudin sedang berdiri di depan pasar yang ramai dengan orang berlalu-lalang. Temannya bertanya, “Mengapa tidak diatur saja berjalan ke satu arah yang sama ?” Nasrudin menjawab, “Kalau semua orang berjalan ke arah yang sama, dunia ini akan miring dan berat sebelah.” Kebenaran apa yang tersembunyi di balik anekdot ini? Bahwa keselarasan tercipta bukan melalui penyeragaman, melainkan justru melalui kemajemukan.

Anda ingin mendengar lagi cerita Nasrudin ? Tidak mungkin semua diceritakan di sini. Tetapi tambahan satu lagi boleh saja. Ini dia.

Nasrudin sedang duduk di tepi danau. Tiba - tiba ada orang tenggelam dan berteriak, “Tolong, tolong !” Langsung orang-orang berteriak, “Berikan tanganmu !” Tetapi orang itu tidak mau mengulurkan tangannya. Lalu Nasrudin mendekat dan berteriak, “Ambil tanganku !” Ketika itu juga orang tadi meraih dan memegang erat tangan Nasrudin. Semua orang heran dan bertanya, “Nasrudin, mengapa dia tidak mau menanggapi teriakan kami ?” Nasrudin Menjawab, “Orang ini terkenal kikir. Ia tidak mau memberi, Ia hanya mau mengambil.”

Apa ? Anda mau satu lagi? Baiklah. Anggap saja ini bonus. Tetapi ini yang terakhir. Ada seorang pemuda makan sebutir telur rebus di warung. Sesudah makan ia pergi tanpa membayar. Setahun kemudian ia kembali lagi untuk membayar. Tetapi pemilik warung berkata, “Memang uangmu ini pas untuk sebutir telur rebus. Tetapi kamu harus bayar seratus kali lipat, sebab dalam waktu setahun telur itu bisa menetas menjadi ayam dan ayam itu bertelur dan telur itu menjadi ayam lagi!” Pemuda itu tidak bisa menerima alasan tersebut. Dibawalah persoalan ini ke pengadilan. Lalu pengadilan memanggil Nasrudin untuk memberi kesaksian. Lama sekali Nasrudin ditunggu, ia sangat terlambat. Hakimpun menegur, “Nasrudin, mengapa kamu terlambat ?” Nasrudin menjawab, “Maaf, Tuan Hakim, aku terlambat karena aku sedang merebus benih gandum untuk ditanam.” Hakim itu langsung menegur, “Aneh betul, masakan benih gandum yang sudah direbus bisa ditanam dan menghasilkan gandum ?” Nasrudin menjawab, “Memang aneh, sama anehnya dengan sebutir telur yang sudah direbus tapi bisa menetas menjadi ayam.”

Nah, itu cerita yang terakhir. Lain kali diteruskan. Apa? Anda minta ekstra lagi ? Wah, rupanya Anda sudah ketagihan cerita Nasrudin. Kalau begitu baiklah. Tapi ini betul-betul yang terakhir.

Nasrudin melakukan perjalanan bersama dua orang kawan. Ia lapar dan ingin membagi roti satu-satunya yang dimilikinya. Tetapi kedua teman yang belum lapar itu berkata, “Besok sajalah! Malam ini kita langsung tidur. Barangsiapa yang mimpinya paling bagus, dia boleh makan roti ini.” Keesokan harinya seorang teman berkata, “Mimpiku sangat bagus. Aku melihat nabi.” Temannya yang lain berkata, “Mimpiku lebih bagus lagi. Aku melihat Tuhan.” Sekarang giliran Nasrudin, Dengan suara perlahan dan kepala menunduk Nasrudin berkata, “Aku tidak melihat nabi dan juga tidak melihat Tuhan. Yang kulihat adalah Istriku. Ia menyuruh aku memakan roti itu. Lalu aku segera bangun dan langsung memakan roti itu. Sekarang roti itu sudah habis.”
Dari buku, Andar Ismail "Selamat Berkiprah", semoga bermanfaat bagi kita. Tuhan memberkati 

PKU. Selasa 08 Feb 2017.

HIDUP SENDIRI TAPI BUKAN UNTUK DIRI SENDIRI



HIDUP SENDIRI TAPI BUKAN UNTUK DIRI SENDIRI

Banyak orang sejak kecil sudah beranggapan bahwa menjadi dewasa berarti menjadi suami atau istri dan ayah atau ibu. Akibatnya, mungkin ia menjadi gelisah atau merasa diri kurang ketika ia belum menikah pada usia dewasa. Lalu orangtuanya mulai bingung dan para tante mulai berbisik - bisik menawarkan jasa baik untuk menjadi “emak comblang”.

Apakah menjadi dewasa berarti harus menikah ? Memang menurut kitab Kejadian, ketika Tuhan menciptakan manusia, Ia pun menciptakan lembaga pernikahan. Tuhan memungkinkan dan memberkati pernikahan. Namun sebuah kemungkinan bukan merupakan keharusan dan tidak selalu harus digunakan. Misalnya, Tuhan memberi kemungkinan kepada manusia untuk berenang. Apakah itu berarti bahwa kita semua harus cakap dan gemar berenang ?

Banyak pula orang melihat keadaan hidup membujang hanya dari segi negatifnya saja, misalnya rasa sepi atau ketidakpastian akan hari depan. Tetapi sebetulnya dalam hidup berkeluarga pun rasa sepi dan ketidakpastian itu dapat terjadi.

Jarang orang melihat bahwa hidup membujang pun ada segi positifnya. Hidup membujang dapat berarti lebih banyak waktu, tidak terikat pada kewajiban - kewajiban sebagai anggota keluarga, lebih banyak kesempatan pengembangan diri untuk karier, profesi, pelayanan kepada gereja atau pengabdian kepada masyarakat.

Pakar psikologi perkembangan, Erik Erikson mengatakan bahwa salah satu ciri kedewasaan adalah sifat generativitas. Yang dimaksud bukanlah berproduksi atau berkembang biak secara biologis, melainkan mengembangkan mutu hidup bagi generasi selanjutnya. Orang yang membujang pun bersifat generatif. Sama seperti orang yang berkeluarga, orang yang membujang pun dapat mewariskan atau menyalurkan kecakapan, pengetahuan dan nilai - nilai hidup kepada generasi selanjutnya. Bahkan orang yang membujang mungkin dapat melakukan pewarisan itu dengan lebih ampuh dan dengan jangkauan yang lebih luas.

Dari sudut itu kita melihat peran orang yang hidup membujang yang membaktikan hidupnya untuk kesejahteraan manusia, seperti Tuhan Yesus, Rasul Paulus, Nabi Yeremia, Pascal, Jean d’Arc, Florence Nightingale, Erasmus, Ibu Theresa dan banyak lainnya. Orang-orang itu hidup sendiri, tetapi mereka tidak hidup untuk diri sendiri, melainkan untuk kalangan yang lebih luas. Siapa yang dapat menyangkal besarnya peranan mereka untuk umat manusia.

Segi - segi positif itu diperlihatkan Rasul Paulus ketika ia menulis, “… Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya.” (I Korintus 7 : 32 - 34). Bahkan dalam pasal yang sama Paulus mengatakan bahwa hidup membujang adalah karunia dari Tuhan (ayat 7).

Memang kebanyakan orang dewasa menempuh hidup menikah. Tetapi itu bukan berarti bahwa hidup membujang adalah penyimpangan. Sebagaimana masyarakat mempunyai ruang untuk mereka yang menempuh hidup nikah, demikian juga masyarakat perlu menyediakan ruang bagi mereka yang hidup membujang. Salah satu sifat kemajemukan berlaku di sini: masyarakat kita terdiri dari orang yang menikah dan orang yang membujang. Kehadiran orang membujang perlu diperhitungkan, misalnya dalam liturgi responsive janganlah jemaat dikategorikan sebagai suami atau ayah melainkan pria, sebab tidak semua pria adalah suami atau ayah.

Baik hidup menikah maupun membujang adalah hidup yang utuh, penuh dan wajar. Karena itu orang yang hidup perlu mendapat perlakuan yang wajar. Mereka tidak perlu dikasihani, tetapi tidak perlu pula dikagumi. Mereka tidak usah ditanya mengapa mereka tidak menikah. Hidup membujang bukan tanda hina dan bukan juga tanda mulia. Arti hidup manusia bukan diukur dengan hal menikah atau tidak.

Di Matius 19 : 12, Tuhan Yesus bersabda, “… Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.”
Dari buku Pdt. DR. Andar Ismail "SELAMAT RIBUT RUKUN".

PKU. Kamis 09 Feb 2017.