RUANG KONSISTORI
Biasanya jemaat-jemaat Protestan
memahami konsistori adalah sebuah ruang “kecil” dan terletak di pojok bagian
belakang gereja. Ruang tersebut nampaknya berfungsi sebagai tempat Majelis
Jemaat berdoa bersama para petugas ibadah pada sebelum dan setelah perayaan
ibadah. Pemahaman tersebut tidak salah, tetapi hanya kurang lengkap. Kata
konsistori berasal dari consistory (Ing.), tertulis artinya rapat
dewan gereja. Informasi tersebut belum memadai menurut tradisi. Uraian berikut
malah membuktikan bahwa konsistori sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kegiatan doa untuk ibadah.
Menurut sejarahnya, yang
dimaksud dengan konsistori adalah rapat. Ruang rapat itu disebut consistorium
(Lat.), artinya balai, kamar, atau ruangan. Keberadaan konsistorium berasal
dari kebiasaan Kaisar mengadakan pengadilan di kamar yang terletak di depan
istana. Tradisi konsistorium dari kekaisaran Romawi inilah yang kemudian
diadopsi dan diadaptasi ke dalam gereja baik Katolik maupun Protestan. Dalam
kamus bahasa Belanda dan kamus sejarah gereja, consistorie berarti
rapat pengurus. Dalam tradisi Katolik Roma, konsistori adalah rapat para Uskup
Agung atau Kardinal yang dipimpin oleh Paus. Paus memiliki beberapa jenjang
konsistori para Kardinal menurut kepentingan dan kegunaannya. Berbeda dengan
tradisi Katolik di mana konsistori adalah rapat para klerus, dalam tradisi
Protestan konsistori adalah rapat Majelis Jemaat.
Menurut tradisinya, konsistori
adalah sidang atau rapat pimpinan gereja untuk memutuskan dan mengatur
kehidupan bergereja. Dalam tradisi Katolik Roma yang hierarkis, di mana
keputusan ada di tangan Paus, maka konsistorium tidak begitu kentara di
Paroki-paroki. Demikian pula di Gereja-gereja Pantekostal, di mana Pendeta
Jemaat lebih dominan dalam pengambilan keputusan, konsistorium juga tidak ada.
Dalam tradisi Reformasi, di mana ada Dewan Majelis di setiap Jemaat, sangat
kentara letak dan fungsi konsistori dan konsistorium.
Jadi, konsistori bukan sekadar
ruang, namun sistem kepemimpinan dan pengambilan keputusan gereja. GKI memakai
sistem konsistori, yakni bahwa keputusan tertinggi dalam gereja berada pada
Persidangan Majelis Jemaat. Kepemimpinan dalam tradisi Reformasi memposisikan
anggota jemaat sebagai Majelis Jemaat. Itulah sebabnya, konsistori dalam
tradisi Protestan adalah bukan rapat para Kardinal dan konsistorium terdapat di
semua gereja Jemaat, melainkan Persidangan Majelis Jemaat.
Keberadaan dan fungsi konsistori
dan konsistorium seringkali disalah mengerti. Hingga kini, GKI menggunakan kata
“konsistorium” untuk tim kerja pengatur pertukaran pengkhotbah Jemaat-jemaat
se-Jakarta. Biasanya yang duduk di konsistorium memang Majelis-majelis Jemaat,
namun tidak mengambil keputusan strategis sebagaimana halnya Persidangan
Majelis Jemaat. Konsistori juga seringkali dipahami sebagai ruang persiapan
liturgi pada sebelum dan setelah ibadah, namun jauh dari kesan aktivitas rapat
Majelis. Saya tidak pernah mendengar jemaat GKI menyebut rapat Majelis sebagai
konsistori, dan terdengar salah kalau menyebut ruang Majelis itu sebagai
konsistorium. Jemaat umumnya mengonotasikan konsistori sebagai ruang di
belakang yang sebenarnya lebih tepat disebut konsistorium.
Di Sinode GKI atau di
Klasis-klasis tidak ada konsistorium, karena wujud fisik Sinode GKI adalah
kantor, bukan gereja. Konsistorium di Jemaat-jemaat GKI umumnya terletak di
belakang ruang ibadah. Ada yang satu lantai dengan ruang ibadah, ada pula yang
beda lantai. Hanya beberapa Jemaat menempatkan konsistorium di depan atau di
samping ruang ibadah. Sebenarnya tidak ada ketentuan letak konsistorium di satu
Jemaat. Peran dan fungsi konsistori jauh lebih penting daripada letak
konsistorium. Bahwasanya dengan konsistori yang terdiri dari umat merupakan jiwa
teologis Gereja-gereja Reformasi bahwa umat berperan aktif dalam kehidupan dan
pembangunan Jemaat.
Copas, Blog GKI.