GEREJA YANG BERDIAKONIA ?
(Tulisan ini lahir dari kongkow di warung
kopi dan saya pikir ada baiknya dituliskan
mana tau ada sebab akibat
yang diakibatkan setelah tulisan ini dibaca
oleh yang berminat … hehehe …
selamat membaca)

Dan memang sudah seharusnyalah gereja mengambil sikap dalam menyikapi masalah – masalah sosial masyarkat (jasmani) umpamanya peduli kepada orang yang tidak cukup makan – minum, peduli kepada yang tidak dapat membayar biaya kesehatan, kepada yang tidak dapat membayar biaya pendidikan anak-anak mereka, atau menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memilki pekerjaan, dsb.
Oleh itu adalah sangat baik jika gereja
lebih menggiatkan pelayanan diakonianya serta berlahan – lahan
mengurangi pengeluaranya yang hanya sebatas pesta kemeriahan gerejawi
yang hanya bersifat sementara, menghabiskan dana yang cukup banyak dan
mulailah meninggalkan cara pelayanan diakonia yang hanya sebatas
pelayanan seremonial. Gereja haruslah membuka matanya lebih lebar untuk
melihat bahwa masih banyak anggota jemaatnya yang hidup di dalam
kemiskinan, yang tidak memiliki harta benda, hidup serba kekurangan oleh
karena rendahnya penghasilan mereka untuk mencukupi keperluannya.
Gereja adalah manifestasi keberadaan
Allah di dunia artinya selain melakukan persekutuan untuk memuliakan
Tuhan Allah, gereja juga adalah sebagai perpanjangan tangan Tuhan Allah
untuk mewujudkan tujuanNya untuk datang kedua dunia yaitu melakukan
pelayanan kemanusian sampai Ia datang kedua kali. Dalam Lukas 4 : 14 –
21 jelas sekali tanpa penafsiran yang rumit, kita mengetahui Yesus
berbicara tentang kehidupan jasmani manusia, ketika Ia mengatakan ; “Roh
Tuhan ada pada-Ku oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan
kabar baik kepada orang-orang miskin ; dan Ia telah mengutus Aku untuk
memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi
orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”. Bukan kah perkataan
Yesus ini seharusnya teraplikasi dengan baik di dalam kehidupan gereja
dan bukankah seharusnya gereja lebih mengedepankan pelayanan tersebut
serta menyelesaikan masalah – masalah jasmani kehidupan manusia tersebut
?
Secara harafiah, Diakonia dalam bahasa Ibrani disebut dengan “syeret” yang berarti memberikan pertolongan atau pelayanan. Dalam terjemahan bahasa Yunani, kata diakonia disebutkan diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), dan diakonos (pelayan).
Dan secara luas pada zaman Perjanjian Baru diartikan menyiapkan makanan
sebagai korban kepada dewa-dewi dan pada masa itu kata ini memang
tidak memiliki arti yang “terhormat” karena digunakan hanya
untuk para pelayan dan para hamba namun pada perkembangannya diakonia
lebih diartikan melayani dalam arti umum untuk melayani kebutuhan
jemaat.
Dalam praktek pelayanannya gereja memang telah melakukan pelayanan diakoninya yang di kenal dengan Diakonia karitatif
yaitu pelayanan diakonia dengan pelaksanaan memberi langsung kepada
mereka yang membutuhkan dan lebih bersifat tanggap – darurat, dan dalam
sisi baiknya diakonia ini dibutuhkan dalam pelayanan tertentu. Dalam
perjalan waktu pelayanan diakonia mengalami pererkembangan pemahaman
yang disebut dengan Diakonia Reformatif sifat dari pelayanan
diakonia sebenarnya masih hampir sama dengan diakonia karikatif oleh
karena pelayanan diakonia reformatif ini pun tidak merubah pondasi dasar
pelayanan diakoni karena tetap saja dilakukan atas dasar belas kasihan.
Akhir – akhir ini istilah diakonia kemudian lebih berkembang dengan
sebutan diakonia transformatif dalam pengertiannya sifat dari
pelayanan ini lebih mendekati dengan apa yang dimaksudkan Yesus dalam
Luk 4 : 14 – 21. Bukankah itu yang dimaksudkan Allah ketika ketika kita
merujuk kembali ke PL ketika Tuhan Allah melepaskan bangsa Israel dari
penindasan di Mesir dan menempatkan bangsa Israel di Tanah Kanaan yang
sangat subur atau yang dimaksudkan Yesus ketika Ia berkata dalam mat 6 :
25 – 34 dimana Yesus menginginkan agar seluruh umat manusia terlepas
dari rasa khawatirnya setiap saat (hari) tentang apa yang akan dia makan
dan minum serta apa yang akan ia pakai ?
Lalu kapankah diakonia transformatif itu
dapat terrealisasi dengan baik dan benar ? hal itu kembali tergantung
kepada gerejanya. Jika gereja hanya masih ingin menghibur dirinya,
menyibukkan diri dengan kesenangannya sendiri, maka hal tersebut akan
sulit tercapai, terlebih – lebih jika mimbar gereja tidak lagi dipakai
bagaimana seharusnya dalam mengkomunikasikan firman Allah dengan maksud
Allah yang sesungguhnya.
Gereja seharusnya sadar dengan pemahaman
teologinya dan memang harus membuka mata lebih lebar, melihat bahwa di
dalam jemaatnya atau di kehidupan sosial masyarakat yaitu peduli kepada
orang miskin yang tetap miskin dari dulu bahkan menjadi jemaat yang
warisan jemaat yang miskin turun – temurun ? Johanes Calvin pernah
berkata firman tidak hanya boleh berada diatas mimbar atau dengan kata
lain diakonia tidaklah hanya boleh sekedar berada di altar, namun firman
harus menyentuh kehidupan manusia dalam pelayanan gereja, sehingga
firman tidak lagi hanya sebatas pemuasan nafsu kerohanian belaka.
Haruskah nantinya gereja nmendapat kritikan dari Yesus sama seperti
Yesus mengkritik orang farisi pada zamanNya yang hanya mementingkan
aspek kerohanian tapi tidak mempraktekkan kasih kepada sesamanya.
Gereja adalah manifestasi keberadaan
Allah dan gereja adalah refrensentasi tubuh Kristus yang merasakan
penderitaan orng lain dan harus menjadi perpanjangan tangan Tuhan Allah
untuk mewujudkan tujuan Tuhan Allah berada di dunia untuk melakukan
pelayanan kemanusian dan jika gereja masih tidak meyadari itu maka sia –
sialah ia sebagai gereja.
Pekanbaru 16 Feb 2016. Pdt. Israel H Sembiring.