LUGU BAK NASRUDIN
(Ini salah satu ilustrasi yang saya suka dan ilustrasinya sering saya pakai dalam khotbah - khotbah saya)
(Ini salah satu ilustrasi yang saya suka dan ilustrasinya sering saya pakai dalam khotbah - khotbah saya)
Nasrudin dikunjungi seorang teman
yang membawa seekor bebek. Maka nasrudin pun memasak sop bebek dan menyantapnya
berdua. Sekitar sejam setelah temannya pulang, datanglah seorang yang sama
sekali tidak di kenal Nasrudin. Orang itu berkata, “Aku adalah teman dari teman
yang membawa bebek tadi.” Memang masih ada sisa sop bebek itu, namun hanya
sedikit sekali. Cepat - cepat Nasrudin menambah air lalu menyajikannya. Sejam
kemudian datang lagi seorang yang tidak dikenal dan berkata, “Aku adalah teman
dari teman dari teman yang membawa bebek.” Nasrudin bingung. Sisa kuah sop itu
sudah tinggal sedikit sekali. Maka Nasrudin menambah lagi air lalu
menyajikannya. Baru saja orang itu mencicipi ujung sendok, ia membentak, “Sop
apa ini?” Dengan tenang Nasrudin menjawab, “Ini adalah sop bebek dari sop bebek
dari sop bebek.”
Pada kesempatan lain Nasrudin sedang
berjalan ke kota. Beberapa anak nakal ingin memperdaya dia dan mencuri
sandalnya. Mereka berpura-pura meminta Nasrudin mengajar mereka memanjat pohon.
Nasrudin pun melepaskan sandal, memasukkan sandalnya ke dalam saku, lalu mulai
memanjat pohon. Anak-anak menjadi bengong dan berteriak, “Kenapa sandalnya
dibawa?” Nasrudin menjawab, “Barangkali di puncak pohon ada jalan. Aku ingin
belajar berjalan di situ.”
Pada suatu hari Nasrudin meminjam
sebuah panci besar dari tetangga yang terkenal licik dan serakah. Ketika ia
mengembalikan panci itu, dimasukkannya sebuah panci baru yang kecil. Ia
berkata, “Pancimu ternyata hamil dan semalam melahirkan anak.” Tanpa
mengucapkan apa-apa tetangga itu mengambil kedua panci itu. Seminggu kemudian
Nasrudin meminjam lagi panci besar itu. Esok harinya ketika tetangga itu
menagih, Nasrudin berkata, “Pancimu semalam telah meninggal dunia.” Tetangga
itu marah, “Mustahil, mana ada panci meninggal dunia!” Nasrudin menjawab,
“Ketika pancimu hamil dan melahirkan, kamu tidak bilang apa-apa; sekarang
pancimu meninggal dunia kamu bilang mustahil.”
Siapa Nasrudin ? Konon ia adalah
seorang sufi di Turki pada abad ke - 14. Ada ratusan anekdot tentang Nasrudin
yang merupakan paduan humor dan satire (gaya sastra sindiran). Dalam bahasa
Inggris saja, ada hampir seratus buku yang berisi koleksi dan analisis cerita
Nasrudin.
Tiap anekdot Nasrudin menyimpan
sebuah kebenaran. Kebenaran itu sering kali menusuk, namun dikemas sedemikian
rupa sehingga pembaca tidak menjadi gusar, melainkan tertawa bahkan
menertawakan diri sendiri.
Bagaimana dengan karakter Nasrudin ?
Ia digambarkan sebagai seorang yang meyakini suatu keyakinan yang jelas. Cara
meyakininya itu selalu bersifat lugu, artinya wajar dan apa adanya. Dengan
demikian keyakinannya terungkap dengan sederhana, singkat-padat dan jelas.
Bukankah begitu sebetulnya hakikat
sebuah kesaksian ? Kita bersaksi tentang apa yang telah dan tengah diperbuat
Allah dalam Kristus. Kita bersaksi tentang sebuah kebenaran yang bernama
Kristus. Kita bukan pemilik kebenaran itu. Kita hanyalah “anekdot” yang
mengangkut atau mentransportasi kebenaran itu.
Supaya kebenaran itu tiba di alamat
dengan jitu. “anekdot’-nya harus jitu pula. Nasrudin menjadi anekdot yang jitu
karena sifatnya yang lugu, yaitu wajar dan apa adanya. Ia tidak dibuat-buat.
Ketika Tuhan Yesus menyapa persoalan
tentang sumpah seorang saksi kebenaran, ia menegaskan bahwa yang penting
bukanlah sumpahnya, melainkan kebenarannya. Ia berkata, “Jika ya, hendaklah
kamu katakan : ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan : tidak …” (Mat. 5:37).
Apa faedahnya ber sumpah demi ini atau demi itu, kalau kesaksiannya tidak
benar. Yang perlu adalah bahwa kesaksian kita sungguh-sungguh benar. Kristus
tidak merasa perlu di perindah, di perbesar dan di perhebat dalam kesaksian
kita. Apa adanya saja. Wajar saja. Lugu saja. Justru kesaksian yang lugu bisa
menjadi kesaksian yang ampuh.
Keluguan itu pula yang membuat pesan
kebenaran Nasrudin menjadi ampuh. Coba simak anekdot ini. Nasrudin sedang
berdiri di depan pasar yang ramai dengan orang berlalu-lalang. Temannya
bertanya, “Mengapa tidak diatur saja berjalan ke satu arah yang sama ?”
Nasrudin menjawab, “Kalau semua orang berjalan ke arah yang sama, dunia ini
akan miring dan berat sebelah.” Kebenaran apa yang tersembunyi di balik anekdot
ini? Bahwa keselarasan tercipta bukan melalui penyeragaman, melainkan justru
melalui kemajemukan.
Anda ingin mendengar lagi cerita
Nasrudin ? Tidak mungkin semua diceritakan di sini. Tetapi tambahan satu lagi
boleh saja. Ini dia.
Nasrudin sedang duduk di tepi danau.
Tiba - tiba ada orang tenggelam dan berteriak, “Tolong, tolong !” Langsung
orang-orang berteriak, “Berikan tanganmu !” Tetapi orang itu tidak mau mengulurkan
tangannya. Lalu Nasrudin mendekat dan berteriak, “Ambil tanganku !” Ketika itu
juga orang tadi meraih dan memegang erat tangan Nasrudin. Semua orang heran dan
bertanya, “Nasrudin, mengapa dia tidak mau menanggapi teriakan kami ?” Nasrudin
Menjawab, “Orang ini terkenal kikir. Ia tidak mau memberi, Ia hanya mau
mengambil.”
Apa ? Anda mau satu lagi? Baiklah.
Anggap saja ini bonus. Tetapi ini yang terakhir. Ada seorang pemuda makan
sebutir telur rebus di warung. Sesudah makan ia pergi tanpa membayar. Setahun
kemudian ia kembali lagi untuk membayar. Tetapi pemilik warung berkata, “Memang
uangmu ini pas untuk sebutir telur rebus. Tetapi kamu harus bayar seratus kali
lipat, sebab dalam waktu setahun telur itu bisa menetas menjadi ayam dan ayam
itu bertelur dan telur itu menjadi ayam lagi!” Pemuda itu tidak bisa menerima
alasan tersebut. Dibawalah persoalan ini ke pengadilan. Lalu pengadilan
memanggil Nasrudin untuk memberi kesaksian. Lama sekali Nasrudin ditunggu, ia
sangat terlambat. Hakimpun menegur, “Nasrudin, mengapa kamu terlambat ?”
Nasrudin menjawab, “Maaf, Tuan Hakim, aku terlambat karena aku sedang merebus
benih gandum untuk ditanam.” Hakim itu langsung menegur, “Aneh betul, masakan
benih gandum yang sudah direbus bisa ditanam dan menghasilkan gandum ?”
Nasrudin menjawab, “Memang aneh, sama anehnya dengan sebutir telur yang sudah
direbus tapi bisa menetas menjadi ayam.”
Nah, itu cerita yang terakhir. Lain
kali diteruskan. Apa? Anda minta ekstra lagi ? Wah, rupanya Anda sudah
ketagihan cerita Nasrudin. Kalau begitu baiklah. Tapi ini betul-betul yang
terakhir.
Nasrudin melakukan perjalanan
bersama dua orang kawan. Ia lapar dan ingin membagi roti satu-satunya yang
dimilikinya. Tetapi kedua teman yang belum lapar itu berkata, “Besok sajalah!
Malam ini kita langsung tidur. Barangsiapa yang mimpinya paling bagus, dia
boleh makan roti ini.” Keesokan harinya seorang teman berkata, “Mimpiku sangat
bagus. Aku melihat nabi.” Temannya yang lain berkata, “Mimpiku lebih bagus
lagi. Aku melihat Tuhan.” Sekarang giliran Nasrudin, Dengan suara perlahan dan
kepala menunduk Nasrudin berkata, “Aku tidak melihat nabi dan juga tidak
melihat Tuhan. Yang kulihat adalah Istriku. Ia menyuruh aku memakan roti itu.
Lalu aku segera bangun dan langsung memakan roti itu. Sekarang roti itu sudah
habis.”
Dari buku, Andar Ismail
"Selamat Berkiprah", semoga bermanfaat bagi kita. Tuhan memberkati
PKU. Selasa 08 Feb 2017.