Tulisan ini bisa jadi tidak enak untuk dibaca karena memang sifatnya menyoal terhadap perayan besar yang sering kita agungkan di bulan Desember. Mungkin sahabat akan berikir saya terlalu banyak berbicara yang bukan – bukan dan mungkin akan menyoal kembali maksud tulisan ini dengan berbagai argumen atau barangkali menyebabkan tidak suka kepada saya atau barangkai tidak mengucapkan lagi selamat natal. Tapi inilah pandangan saya tentang perayaan natal kita. Dan jika Tulisan ini tidak berkenan bagi Tuhan sang pemilik natal, semoga Ia mengampuni saya sebagai hamba-Nya.
PERLUKAH PERAYAAN PESTA SEPERTI INI ?
Natal … Memang sudah tak terasa dan semakin dekat perayannya. Kesibukan akan dimulai panitia natal mulai bekerja, gereja, rumah, mall, pasar – pasar mulai dihiasi pernak – pernik natal dan seperti biasanya pesta natal itu diharapkan dapat terlaksana dengan meriah hingga bahkan bisa saja sangat duniawi.
Natal … Memang sudah tak terasa dan semakin dekat perayannya. Kesibukan akan dimulai panitia natal mulai bekerja, gereja, rumah, mall, pasar – pasar mulai dihiasi pernak – pernik natal dan seperti biasanya pesta natal itu diharapkan dapat terlaksana dengan meriah hingga bahkan bisa saja sangat duniawi.
Terkadang saya berpikir ; Perlukan
perayaan dan Pesta natal dimana nuansa duniawinya sangat terasa ?.
Kenapa saya berkata Perlukah perayaan seperti ini ? lihatlah sekarang
bagaimana gereja – gereja yang hanya mengandalkan ibadah spektakuler
yang didalamnya orang – orang kristiani bersorak – sorai memuja hadirat
Tuhan, tetapi lihat juga adakah perubahan yang mendalam yang membaharui
setelah perayaan natal tersebut ?
MELIHAT NATAL BERSAMA NABI YESAYA.
Mari melihatlah bersama nabi Yesaya, ketika ia berkata dalam pasal 2 tentang : “apa yang terjadi di surga dan yang terjadi di bumi”. Yerusalem beria – ria dengan persembahan domba dan lembu mahal, perayaan – perayaan rutin yang sangat fantastis ? tapi ironis ! melihat semuanya itu. Yesaya mengatakan, Yang Mahakudus mencela karena jijik ; “Aku benci melihatnya! Tanganmu penuh dengan darah!” bahkan Allah bahkan menyetarakan Yehuda dengan manusia Sodom dan Gomora ! “Inilah kesalahan Sodom … kecongkakan, makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin” (Yehezkiel 16:49). Yesaya mengatakan Allah tak terkesan dengan ibadah, perayaan atau persembahan memang sangat hebat namun penuh kemunafikan, meski ada kemegahan di dalam tembok rumah ibadah, kesengsaraan dan kemiskinan masih bercokol di luar tembok Yerusalaem.
Mari melihatlah bersama nabi Yesaya, ketika ia berkata dalam pasal 2 tentang : “apa yang terjadi di surga dan yang terjadi di bumi”. Yerusalem beria – ria dengan persembahan domba dan lembu mahal, perayaan – perayaan rutin yang sangat fantastis ? tapi ironis ! melihat semuanya itu. Yesaya mengatakan, Yang Mahakudus mencela karena jijik ; “Aku benci melihatnya! Tanganmu penuh dengan darah!” bahkan Allah bahkan menyetarakan Yehuda dengan manusia Sodom dan Gomora ! “Inilah kesalahan Sodom … kecongkakan, makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin” (Yehezkiel 16:49). Yesaya mengatakan Allah tak terkesan dengan ibadah, perayaan atau persembahan memang sangat hebat namun penuh kemunafikan, meski ada kemegahan di dalam tembok rumah ibadah, kesengsaraan dan kemiskinan masih bercokol di luar tembok Yerusalaem.
Dalam hal ini aku hendak mengatakan,
lihatlah ! Sekian tahun gereja bertumbuh, bukankah pertumbuhan iman
jemaat hanya jalan ditempat, bukankah semakin lama kita bersama di dalam
gereja semakin banyak perseteruan, kecongkakan, keangkuhan, yang miskin
tetap miskin dan yang kaya semakin kaya dan kondisi orang-orang di
jalanan (masyarakat) tak banyak berubah ? Bukankah ini yang dikatakan
Yesus tentang “Garam” yang tak lagi asin dan “terang” yang sudah redup
nyalanya ? Atau barangkalai dengan sengaja kita melupakan pesan nabi
Yesaya dalam setiap perayaan gerejawi, tidakkah kita melihat Tuhan
menghardik umat-Nya yang merasa diri tengah baik – baik saja ? Jikalau
bisa dan tulisan ini memberi makna kepada kita, mungkin aku juga akan
berkata, marilah “Singkirkan perayaan yang penuh kemunafikan itu, mari
beribadah dan merayakan natal dengan kesederhanaan, hikmad dan lebih
kepada memaknai akan kehadiran Yesus di dunia. Cukup sudah kita kita
berbicara tema natal yang sentralnya hanya kepada :
- Berapa biayanya ?
- Dari mana sumber dananya ?
- Dimana tempatnya di hotel atau di gereja?
- Siapa pengkhotbahnya kelas atas atau kelas bawah ?
- Siapa artisnya lokal atau ibu kota ?
- Apa makanannya Prasmanan atau kotak ?
- Bagaiaman kado natalnya ?
- Apa hiburannya, band atau keyboard ?
- Siapa yang di undang Pejabat atau pimpinan gereja ?
- Siapa yang menjadi sponsor calon Bupati, Gubernur atau caleg ?
- Dsb … ?
SEDIKIT TENTANG AKU DAN MAKNA NATAL
Kenapa kita sangat menghilangkan makna natal yang sesungguhnya yang berbicara berbicara tentang penebusan, tentang kesederhanaan dan kerendahan hati ? Saya masih mengingat ketika saya dulu diundang beberapa tahun lalu awal pelayanan saya dengan jadwal yang padat sekali bisa sampai 40 X dalam sebulan, tapi itu dulu … hehehe … sekarang jadwalnya semakin sedikit tapi saya senang dan sangat jujur dengan sengaja memang menolak beberapa tawaran berkhotbah yang hanya memuaskan pendengar, karena bagiku menjadi pengkhotbah terkenal bukan lagi sebagai yang utama, tapi bagaimana menyamapaikan kebenaranNya yang sesungguhnya bukan sebagai hanya lelucon. Bagi pengkhotbah begini akan beresiko tidak akan di undang dalam banyak perhelatan …. hehehehe … dan mikirlah jika ada yang mau melakukan itu.
Kenapa kita sangat menghilangkan makna natal yang sesungguhnya yang berbicara berbicara tentang penebusan, tentang kesederhanaan dan kerendahan hati ? Saya masih mengingat ketika saya dulu diundang beberapa tahun lalu awal pelayanan saya dengan jadwal yang padat sekali bisa sampai 40 X dalam sebulan, tapi itu dulu … hehehe … sekarang jadwalnya semakin sedikit tapi saya senang dan sangat jujur dengan sengaja memang menolak beberapa tawaran berkhotbah yang hanya memuaskan pendengar, karena bagiku menjadi pengkhotbah terkenal bukan lagi sebagai yang utama, tapi bagaimana menyamapaikan kebenaranNya yang sesungguhnya bukan sebagai hanya lelucon. Bagi pengkhotbah begini akan beresiko tidak akan di undang dalam banyak perhelatan …. hehehehe … dan mikirlah jika ada yang mau melakukan itu.
Kembali kepada perayaan natal tadi. Dalam
banyak perayaan natal, saya memperhatikan bahwa memang acara natal yang
saya hadiri, bahwa perayaan itu lbih banyak kepada nuansa duniawinya,
mulai dari acara natal yang penuh dengan entertaiment, spanduk dan
sponsor yang beragam, ucapan selamat dari petinggi – petinggi negeri,
ada juga pajangan product makanan dan minuman dan lebih heran lagi tata
acara ibadah bisa jadi ada 10 lembar tetapi 6 lembar terakhir penuh foto
calon – calon pejabat serta iklan … hehehehe.
Terkadang saya juga mendengar, beberapa
sanjungan yang dilontarkan oleh panitia natal, majelis jemaat atau
jemaat sendiri yang berkata ; “Puji Tuhan, acara Natal kita sangat
meriah. Megah, mewah, paduan suaranya mantap, penampilan operanya
memukau, pengkhotbahnya luar biasa, dsb”. Sebenarnya, saat mendengar
perkataan itu, saya terharu dan tertunduk, jangan – jangan Tuhan malah
sedih dan menangis melihat kemewahan dan kemeriahan semuanya ini yang
penuh dengan selebrasi. Jangan – jangan semua yang kami lakukan di Natal
ini hanya menyenangkan hati kami, bukan untuk Tuhan.
Sahabat kita telah melupakan, bukankah
dalam perayaan natal seharusnya kita lebih memikirkan tentang
kedatangan-Nya nanti ? karena natal bukanlah lagi berbicara tentang
bayi, tentang gembala, tentang palungan. Itu dulu ketika Ia datang
menjadi bayi manusia. Dan Sang Bayi Manusia itu segera akan datang lagi.
Tapi bukan bayi lagi, tapi dengan segala KemuliaanNya. Mengapakah makna
Natal kehilangan maknanya mengingat akan KedatanganNya nanti ?
bandingaknlah dengan apa yang dikatakan dalam Matius 24 : 29 – 30 ini :
“Segera sesudah siksaan pada masa itu, matahari akan menjadi gelap dan
bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan berjatuhan dari langit
dan kuasa-kuasa langit akan goncang. Pada waktu itu akan tampak tanda
ANAK MANUSIA di langit dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka
akan melihat ANAK MANUSIA itu datang di atas awan-awan di langit dengan
segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Dengan firman yang tertulis dalam
Matius 24 : 29 – 30 ini, masihkah kita tidak mau merenung untuk
mempersiapkan diri menyongsong kedatanganNya nanti ? masihkah dalam masa
penantian itu, tetap kita rayakan dengan pesta makan dan minum yang
dipenuhi dengan roh konsumerisme ? Saya rasa bukan itu caranya. Roma 14 :
17 mengatakan : “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan
minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh
Kudus”.
Saya mengingat beberapa hari yang lalu
Nora (istriku) berkata, Pa dalam tahun – tahun natal kita tidak pernah
lo memajang pohon natal dan menghias rumah kita dengan pernak – pernik
natal ? saya hanya berkata kepadanya, mama, mungkin tahun ini, kita juga
tidak akan memasang pohon natal dirumah dan pernak – perniknya dan kita
pun tidak akan merayakan natal dengan baju baru tapi mari kita bernatal
dan merayakannya dengan hati bersyukur.
Entah kenapa memang, beberapa tahun ini,
jiwaku gundah gulana dan bertanya – tanya, mengapa orang – orang
berlomba sibuk menyukseskan acara natal, sementara Kristus yang
dirayakan kelahiranNya itu dilupakan ? Jika boleh sekali lagi saya
berkata, bukankah ketika ibadah natal itu dibangun dari kelebihan, pesta
mewah, makanan mahal, harta, pakaian, jabatan, dengan acara glamour,
dsb, yang ketika dibawa kedalam ibadah bahwa itu telah mencuri kemuliaan
Tuhan ?
RENUNGAN MEMAHAMI NATAL YANG SESUNGGUHNYA
Bacalah ini renungan yang saya copy paste dari salah satu gereja tetangngga, yang sangat baik dalam memahami natal, semoga dapat memberikan kesadaran kepada kita yang merayakan natal tahun ini :
Bacalah ini renungan yang saya copy paste dari salah satu gereja tetangngga, yang sangat baik dalam memahami natal, semoga dapat memberikan kesadaran kepada kita yang merayakan natal tahun ini :
Yesus lahir dalam kesederhanaan. Dia
adalah Raja, jadi sebenarnya Dia dapat memilih tempat dimana Dia akan
dilahirkan. Dia bisa saja memilih istana yang megah dan penuh keindahan,
tetapi sebaliknya Dia memilih kandang dengan bau yang mungkin saja
menyengat. Dia bisa saja memilih untuk diletakkan di pembaringan yang
empuk, tapi Dia justru memilih palungan. Dia bisa saja memilih sutra
termahal untuk menyelimuti-Nya – ingat, Dia Raja dan Tuhan – tetapi Dia
membiarkan kain lampin yang kasar dan sederhana membungkus-Nya. Saat Dia
lahir, bisa saja Dia mengundang pembesar dan golongan bangsawan untuk
datang melihat-Nya, tetapi Dia justru memilih para gembala sebagai tamu
kehormatan!
Kelahiran Kristus itu sederhana, bahkan
sangat sederhana. Namun anehnya Natal sekarang ini sudah identik dengan
kemewahan. Kalau tidak mewah, bukan Natal namanya. Jika anggaran dana
Natal tidak membengkak sampai berpuluh-puluh juta, Natal yang kita
peringati serasa kurang afdol. Dengan dalih rohani, kita selalu berkata
bahwa kita sedang menyambut kelahiran Raja di atas segala raja, sehingga
segala pemborosan yang kita berikan tidak berarti sama sekali. Memang
tidak pantas jika kita membuat perhitungan finansial terhadap Tuhan.
Namun, apakah benar semua kemewahan itu untuk Tuhan, ataukah sebaliknya
untuk memuaskan keinginan kita sendiri ? Bukankah sejujurnya kita
sungkan dengan tamu undangan yang datang dalam acara Natal kita itu,
sehingga mau tidak mau kita akan menyiapkan acara itu semewah mungkin ?
Padahal bisa saja kita merayakan Natal dalam kesederhanaan tanpa
mengurangi esensi Natal itu sendiri.
Seandainya waktu bisa diputar ulang, saya
ingin kembali ke Natal yang pertama untuk menyaksikan dan merasakan
sendiri bagaimana suasana di Betlehem. Sementara semua penduduk desa
kecil itu sudah tertidur pulas, di suatu tempat, tepatnya di sebuah
kandang sederhana, terlihat Yusuf dengan Maria yang sedang menggendong
Sang Mesias. Serombongan gembala datang dengan ekspresi yang belum
pernah terlihat sebelumnya. Suasana di sana begitu hangat, tenang, teduh
dan dipenuhi kedamaian yang tak terkatakan. Natal pertama memang
diwarnai dengan kedamaian.
Dua puluh abad kemudian, Natal masih
diperingati. Kisahnya masih terus diceritakan. Bahkan cerita Natal itu
tampaknya tidak pernah usang. Hanya sayang, kedamaian yang menyelimuti
Natal pertama berangsur-angsur hilang. Kini kita memperingati Natal,
tapi tak pernah merasa damai. Sebaliknya, Natal tidak lebih dari
kegiatan tahunan yang membuat kita letih. Bahkan kadang kala kita
memperingati dengan kegelisahan dan kegalauan dalam hati. Kehadiran Sang
Mesias tidak cukup memberi rasa tenang dan rasa aman. Berita kelahiran
Juruselamat tidak sanggup menghembuskan rasa damai di hati kita. Tak
heran jika Natal tidak begitu berkesan dalam hidup kita. Sama sekali
tidak membekas. Bahkan berlalu begitu saja.
Jika kita mau merenungkan lebih jauh,
bukankah benar bahwa makna Natal dalam pengertian yang sebenarnya telah
bergeser begitu jauh ? Makna Natal yang sebenarnya diganti dengan hal –
hal lahiriah. Digantikan dengan pesta pora, hura-hura, dan kemewahan
yang sia-sia. Dilewatkan begitu saja, bahkan sebelum kita bisa mengambil
waktu sejenak untuk berefleksi. Alangkah indahnya jika kita bisa
kembali ke Natal yang pertama. Merasakan Kristus dalam kesunyian,
membuat jiwa kita lebih peka terhadap suara-Nya. Merasakan Kristus dalam
kesederhanaan, menggugah empati kita terhadap sesama yang hidup dalam
kekurangan, yang dilanda bencana atau yang sedang dirundung kesedihan.
Merasakan Kristus dalam embusan damai, mengusir jiwa yang gelisah dan
galau.
Amin.
Salam dari saya dan selamat menyambut Natal.
Pekanbaru 17 Nov 2015.
Salam dari saya dan selamat menyambut Natal.
Pekanbaru 17 Nov 2015.